UU TNI: Mahasiswa UIN Walisongo Semarang ‘diteror’ anggota TNI buntut pemberitaan kehadiran militer di kampus

UU TNI: Mahasiswa UIN Walisongo Semarang ‘diteror’ anggota TNI buntut pemberitaan kehadiran militer di kampus


Mahasiswa UIN Walisongo, Semarang (kiri) menemui seorang anggota TNI yang disebut hadir ketika diskusi soal militer berlangsung di kampus UIN Walisongo, Semarang, Senin (14/04). Foto mahasiswa tersebut diburamkan untuk melindungi identitasnya.

Sumber gambar, Istimewa

Keterangan gambar, Mahasiswa UIN Walisongo, Semarang (kiri) menemui seorang anggota TNI yang disebut hadir ketika diskusi soal militer berlangsung di kampus UIN Walisongo, Semarang, Senin (14/04). Foto mahasiswa tersebut diburamkan untuk melindungi identitasnya.

Sejumlah aktivis pers mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, mengaku mendapat “teror” setelah mereka memberitakan kehadiran anggota TNI dalam sebuah diskusi di kampus. Apa tanggapan Kodam IV Diponegoro?

Beberapa aktivis pers mahasiswa di UIN Walisongo, Semarang, mengaku dihubungi “secara berkali-kali” melalui telepon dan pesan tertulis oleh seorang anggota TNI.

Kepada BBC News Indonesia, tiga pegiat pers mahasiswa di kampus tersebut mengaku anggota TNI itu meminta agar pemberitaan tentang kehadiran dirinya dalam sebuah acara diskusi di kampus itudicabut”.

Para mahasiswa juga mengaku bahwa anggota TNI itu mengeluarkan ucapan “ancaman gugatan”.

“Bapak [anggota TNI] itu mengancam kalau diteruskan [pihak yang terkait pemberitaan] bisa dikenakan UU ITE,” kata Wati, mantan awak lembaga pers mahasiswa Justisia di UIN Walisongo, Semarang, kepada BBC News Indonesia, Rabu (23/04).

Wati menerima pesan tertulis dan telepon melalui WhatsApp dari yang bersangkutan pada Selasa (15/04) lalu.

Wati berujar orang tersebut mengaku sebagai anggota TNI seraya menyebutkan pos penugasannya, tanpa menyebut nama, dan pangkat. Belakangan ia mengetahui identitas penelepon setelah memeriksa nomor teleponnya menggunakan aplikasi digital.

Menurutnya, anggota TNI itu menanyakan perihal pers kampus Justisia, yang semalam sebelumnya memberitakan kehadiran anggota TNI di UIN Walisongo Semarang, dalam diskusi tentang militerisme di kampus.

Peristiwa ini kemudian mendapat sorotan setelah diungkap di media sosial dan kemudian diberitakan oleh media.

Sebuah foto yang memperlihatkan seorang anggota TNI berdiri di samping seorang mahasiswa beredar pula di media sosial.

Apa tanggapan Kodam Diponegoro?

Tidak hanya Wati yang dihubungi oleh anggota TNI tersebut.

Kejadian serupa juga dialami dua aktivis pers kampus UIN Semarang lainnya.

Mereka mengaku menerima pesan yang sama, yaitu agar pemberitaan terkait kehadiran anggota TNI di kampus tersebut “dicabut”.

Mereka bercerita dihubungi oleh nomor yang sama, yang merujuk pada seorang personel TNI bernama Rokiman.

Seorang awak media kampus lain, Alfarizy, menyebut penelpon “minta take-down” pemberitaan tersebut.

BBC News Indonesia sudah menghubungi Rokiman melalui pesan singkat untuk permintaan wawancara terkait pengakuan tiga aktivis pers mahasiswa tersebut.

Dalam pesan tertulisnya, Rokiman meminta BBC News Indonesia agar menghubungi pihak Kodim 0733/Kota Semarang.

Dihubungi secara terpisah oleh BBC News Indonesia, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) IV Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo mengaku pihaknya tidak pernah memerintahkan anggotanya untuk melakukan tindakan seperti yang dituduhkan pegiat pers mahasiswa.

“Berkaitan dengan apapun kebebasan bersuara, pendapat, pemberitaan yang dibuat oleh pihak UIN [Walisongo Semarang], tidak ada satu orang pun dari kami yang mengimbau untuk melakukan take down,” kata Andy Soelistyo kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (23/04).

Mahasiswa, TNI, universitas

Sumber gambar, Kompas.com

Keterangan gambar, Unjuk rasa mahasiswa menolak UU TNI, Lumajang, Jawa Timur (24/03).

Masalah ini muncul ke permukaan setelah terungkap ada kehadiran seorang anggota TNI ketika berlangsung diskusi yang digelar Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), Senin (14/04).

Kala itu kelompok studi itu mengadakan diskusi terkait militerisme di dunia akademik.

Acara dihadiri seseorang yang dinilai mencurigakan oleh panitia acara.

Setelah ditanya oleh panitia, pria itu lalu meninggalkan acara diskusi.

Belakangan pimpinanTNI setempat merilis keterangan resmi yang menyebut pria tersebut bukan anggotanya.

Namun tidak lama berselang, seorang personel TNI yang berseragam hadir di luar kampus. Personel TNI itu belakangan diketahui sebagai Sersan Satu Rokiman.

Para peserta yang hadir di acara diskusi itu merasa terintimidasi dengan kehadiran aparat tersebut.

garis

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

garis

Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) IV Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo, menjelaskan kehadiran personel Babinsa (Bintara Pembina Desa) di kampus UIN Semarang bukan bentuk ikut campur kegiatan mahasiswa, melainkan kegiatan pengawasan rutin.

“Kami tidak ada kepentingan di situ [acara diskusi],” kata Andy kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (23/04).

Babinsa (Bintara Pembina Desa) adalah satuan TNI (dulu ABRI) Angkatan Darat yang bertugas di tingkat desa atau kelurahan.

Isu kehadiran aparat militer dalam kegiatan mahasiswa di universitas terjadi setelah TNI menjadi sorotan terkait pengesahan Undang-Undang TNI.

Beleid itu dinilai berbagai pihak bakal memperluas kehadiran aparat militer, termasuk di jabatan-jabatan sipil.

Gelombang protes sempat menjalar di sejumlah daerah, dan mahasiswa adalah motor di balik aksi penolakan beleid tersebut.

TNI, mahasiswa, universitas

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aksi tolak UU TNI, Bandung, Jawa Barat, Maret, 2025.

Tidak hanya di UIN Semarang, kehadiran aparat dalam acara mahasiswa yang disebut sedang melaksanakan kegiatan konsolidasi nasional juga terekam di Universitas Indonesia, Depok.

Akademisi yang mengkaji isu-isu kebebasan akademik, Herlambang Wiratraman menjelaskan fenomena yang terjadi di kampus ini menunjukkan intervensi negara, termasuk militer dalam kegiatan kampus tak benar-benar terputus sejak Orde Baru, meski ia menyebut dalam “gradasi yang berbeda”.

Lalu bagaimana kronologi “teror” yang diterima mahasiswa UIN Walisongo Semarang, serta kehadiran aparat di UI?

Anggota TNI meminta agar berita terkait kehadiran TNI di kampus UIN Walisongo ‘dicabut’

Wati, mahasiswa UIN Wali Songo Semarang mendapat pesan singkat pada Selasa pagi (15/04), dari seseorang yang tak dikenal.

“Tanpa perkenalan, langsung menanyakan, ‘posisi di mana?’ Karena saya tidak tahu itu nomor siapa, saya diamkan saja. Lalu, dia telpon tiga sampai empat kali. Tidak saya jawab,” kata Wati yang merupakan mantan anggota pers mahasiswa, Justisia, yang berada di naungan kampus UIN Walisongo Semarang.

Satu panggilan telepon kembali masuk dan akhirnya Wati mengangkatnya.

“Dia langsung tanya, ‘yang kemarin gimana?’ Saya kan tidak ngeh ya,” kata Wati yang mengaku kebingungan dengan pertanyaan sang penelpon.

TNI, kampus, mahasiswa

Sumber gambar, UIN Walisongo Semarang.

Keterangan gambar, Diskusi soal militer di UIN Walisongo (14/4) yang dihadiri orang pengunjung yang tak dikenal dan juga seorang Babinsa.

Malam sebelumnya, pers kampus Justisia yang berada di bawah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, baru saja menaikkan pemberitaan berjudul ‘Kebebasan Akademik UIN Walisongo Terancam: TNI Memasuki ranah Universitas’.

Artikel itu mengangkat perihal pemberitaan kehadiran aparat TNI saat ada diskusi soal militerisme di UIN Walisongo.

Wati, yang sudah tidak lagi berkecimpung di Justisia dan sedang tak ada di Semarang, menyebut tidak mengetahui peristiwa yang telah terjadi di kampusnya.

Kemudian, sang penelpon memperkenalkan diri dari Koramil. “Saat saya tanya: ‘Ada apa Pak?’ Dia tidak menjawab,” terangnya.

Namun, sang penelpon mendesak dirinya untuk menyebut identitas ketua dan redaktur Justisia.

“Lalu saya jawab, ‘Saya ini bukan siapa-siapa, ikut saja tidak’. Jadi saya diamkan,” terangnya.

“Bapaknya itu mempermasalahkan, berita yang diunggah tersebut ‘luar biasa’. Dan fotonya dia itu tidak di-blur. Dia takut jadi viral. Saya tidak tahu maksudnya ‘luar biasa’ itu bagaimana,” katanya.

Sang penelpon, kata Wati, sempat mengeklaim mengenal pejabat kampus dan rektornya. Bahkan sempat menuding para peserta diskusi tersebut ada yang mengonsumsi minuman keras .

Jelang akhir pembicaraan, menurut Wati, sang penelpon menyebut bahwa dirinya tidak segan untuk memperkarakan pihak yang menaikkan pemberitaan tersebut.

“Bapak itu mengancam kalau diteruskan bisa dikenakan UU ITE,” kata Wati.

TNI, mahasiswa, kampus

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, Para mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak UU TNI.

Mahasiswa UIN Walisongo lainnya, Alfarizy, juga mengatakan dirinya dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai anggota Babinsa.

Awak media kampus Amanat itu dihubungi pada Rabu (15/04) via pesan singkat.

Alfarizy terlibat dalam penulisan berita tentang kehadiran aparat TNI pada diskusi dua hari sebelumnya. Berita itu dimuat di media kampus Amanat.

Sang pengirim pesan kemudian menelpon dirinya. Alfarizy lalu menjawabnya.

Orang itu, menurut Alfarizy, mengaku anggota Babinsa. Dia mempertanyakan perihal fotonya yang terlanjur tersebar bahkan sampai media nasional.

“Dia mengatakan dengan nada yang agak tinggi kalau jurnalis itu ‘suka benar sendiri’. Kemudian mengatakan untuk minta di-take down,” kata Alfarizy.

“Saya menjelaskan itu kan sudah blur dan sudah sesuai kaidah jurnalistik,” terangnya.

Foto-foto dalam artikel Amanat yang berjudul ‘Diskusi KSMW UIN Walisongo Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal’ memang mengaburkan semua wajah, termasuk satu orang berseragam militer.

Sementara itu, awak kampus Reference yang berada di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Walisongo, Zaenal juga mengaku ditelpon berkali-kali oleh orang tak dikenal.

Pers kampus Reference juga mengangkat isu yang sama seperti yang dipublikasikan Amanat dan Justisia.

Zaenal mengabaikan nomor telepon tersebut. Meski begitu, Zaenal menyebut “resah” dengan apa yang dialaminya dan kawan-kawannya.

“Kita kan tidak memberitakan sesuatu yang bohong, dan kita juga memberitakan apa adanya, sehingga untuk apa kita diteror seperti itu?” katanya

Siapa sang penelpon para mahasiswa?

Ketiga lembaga pers kampus itu saling bertukar informasi nomor penelpon yang diterima Wati, Alfarizy, dan Zaenal.

Menggunakan aplikasi pencarian nomor, mereka menemukan satu nama yakni Rokiman. Mereka kemudian mengetahui bahwa Rokiman merupakan anggota militer yang hadir saat sedang berlangsung diskusi pada Senin (14/04).

BBC News Indonesia berusaha menghubungi via pesan singkat nomor yang disebut dimiliki Rokiman yang dalam pemberitaan-pemberitaan disebut berpangkat sersan satu.

Upaya pengajuan wawancara BBC News Indonesia dengan Rokiman dibalas dengan jawaban: “Selamat siang. Mohon maaf pak silahkan ijin ke komandan kodim 0733/Kota Semarang dulu.”

Dalam keterangan tertulis dari pihak Kapendam IV/Semarang Letkol Inf Andy Soelistyo, disebutkan Rokiman adalah petugas Babinsa Koramil Ngaliyan Kelurahan Tambak Aji, Semarang.

Secara terpisah, Kapendam IV/Semarang Letkol Inf Andy Soelistyo membantah bahwa ada upaya pihaknya untuk meminta pers kampus yang ada di UIN Walisongo Semarang mencabut pemberitaan.

“Berkaitan dengan apapun kebebasan, bersuara, pendapat, pemberitaan yang dibuat oleh pihak UIN, tidak ada satu orang pun dari kami yang mengimbau untuk melakukan take down,” kata Andy kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

“Kami menghargai dan menghormati kebebasan dalam menyampaikan pendapat ataupun kebebasan pers,” ujarnya.

TNI, kampus, mahasiswa

Sumber gambar, TNI AD

Keterangan gambar, Apel gelar pasukan kesiapsiagaan TNI AD di Kodam IV/Diponegoro, Oktober 2022.

Apakah aparat TNI menghadiri diskusi mahasiswa UIN Walisongo Semarang?

‘Teror’ yang disebut oleh awak kampus pers kampus UIN Walisongo, Semarang, merupakan buntut rangkaian peristiwa kehadiran aparat saat terjadi diskusi yang diadakan Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), Senin (14/04).

Kala itu, kelompok studi mengadakan diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik”.

Penyelenggara diskusi Riyan Wisnal mengatakan, kegiatan itu digelar mulai pukul 16.00 di samping Auditorium II Kampus III UIN Walisongo.

Diskusi baru memasuki sesi perkenalan, dan tiba-tiba seseorang tak dikenal dan dicurigai para mahasiswa ikut duduk di forum.

“Lalu, moderator meminta peserta memperkenalkan diri,” kata Riyan. Orang tersebut sempat menyebut dirinya bernama Ukem, kata Riyan.

Riyan menyebut orang itu tidak mau memperkenalkan diri lebih jauh.

“Kemudian, orang tak dikenal tersebut memilih keluar dari forum ,” tukasnya.

TNI, kampus, mahasiswa

Sumber gambar, UIN Walisongo Semarang

Keterangan gambar, Sa;ah-satu sudut kampus UIN Walisongo di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Tak berselang lama setelah Ukem pergi, panitia kegiatan kemudian dipanggil oleh satpam kampus.

Di dekat para peserta diskusi sudah ada satu orang berseragam TNI dan satunya mengenakan pakaian hitam.

“Kami bertiga [Riyan dan kawan-kawannya] dimintai identitas. Dan, ditanya juga terkait diskusi yang sedang dibahas. Kami menjawab ya diskusi pasca-disahkannya RUU TNI,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.

“Saat kami tanya mereka ‘dari mana dan tujuannya apa’, mereka hanya diam,” kata Riyan mencoba mengingat lagi.

Pertanyaan diulang lagi, namun mereka tetap diam.

Riyan menyalahkan UU TNI berdampak pada terhambatnya diskusi. Padahal, kata Riyan, diskusi serupa dilakukan rutin digelar dengan tema yang berbeda-beda.

“Dengan adanya revisi UU TNI ini kebebasan akademik terancam, terutama kebebasan berpendapat,” tukasnya.

Sebelumnya, Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro Kolonel Inf Andy Soelistyo selaku juru bicara Kodam IV/Dipenogoro menyatakan orang yang disebut Ukem bukan anggota TNI.

Sementara kehadiran seorang Babinsa bernama Sersan Satu Rokiman tidak ditujukan untuk mengintervensi diskusi di kampus.

“Babinsa hadir di sekitar kampus hanya untuk monitoring wilayah, karena sebelumnya beredar pamflet undangan diskusi yang bersifat terbuka untuk umum. Itu bagian dari tugas Babinsa dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah binaannya,” ujarnya.

TNI, kampus, universitas

Sumber gambar, Kompas.com

Keterangan gambar, Wakil Rektor UIN Walisongo Semarang Mukhsin Jamil meminta pihak TNI konsisten tidak melakukan intervensi.

Sementara itu, Wakil Rektor UIN Walisongo, Mukhsin Jamil, menyatakan “kaget” dengan kehadiran aparat TNI saat diskusi mahasiswa berlangsung.

Lho kok kayak zaman dulu lagi,” katanya kepada wartawan.

Mukhsin meminta pihak TNI yang sudah mengklaim bahwa pihaknya tidak melakukan intervensi untuk tidak melangkahi janjinya.

“Saya kira mestinya ya konsisten aja, kalau tidak ada intervensi ya enggak usah sembunyi-sembunyi, kalau mau datang datang aja sampai surat secara resmi gitu kan, bisa kita terima dengan baik,” jelasnya.

Kehadiran aparat militer dalam kegiatan mahasiswa Universitas Indonesia

Dua hari setelah kejadian di UIN Walisongo, Semarang, insiden serupa mengemuka di Universitas Indonesia, Rabu (16/04).

Saat itu, acara yang disebut oleh sejumlah media sebagai “Konsolidasi Nasional Mahasiswa” didatangi oleh aparat TNI.

Para mahasiswa yang ada di lokasi sempat memprotes atas kehadiran anggota militer berseragam tersebut, seperti diberitakan Kompas.com

Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, mengatakan kehadiran aparat yang merupakan Komandan Distrik Militer Depok, Letkol Inf Imam Widhiarto, tidak berkaitan dengan acara konsolidasi mahasiswa.

Dia menyebut Imam hadir di UI atas undangan seorang mahasiswa berinisial F.

Kristomei enggan menjelaskan lebih lanjut siapa F.

Menurutnya, pihak lain yang juga mengundang Imam adalah kepala pos pengamanan UI berinisial AR.

“Dia diajak ketemu, ngobrol sama mahasiswa inisialnya F, yang memang sudah dikenal dekat sama dia,” kata Kristomei kepada BBC News Indonesia.

TNI, mahasiswa, kampus

Sumber gambar, ANTARA

Keterangan gambar, UI membantah mengundang personel militer ke pertemuan yang diadakan mahasiswa.

Kristomei menyebut Imam pun menyambut undangan tersebut dan mendatangi kantin dekat Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, sesuai arahan mahasiswa tersebut.

Pusgiwa merupakan lokasi para mahasiswa menggelar pertemuan tersebut.

Kehadiran seseorang yang disebut sebagai Komandam Kodim setempat di lingkungan UI saat acara, tertangkap kamera dan tersebar di media sosial.

Kristomei menyalahkan pihak yang memviralkan kehadiran Imam.

“Memata-matai konsolidasi nasional, enggak ada, ya memang diundang secara pribadi,” kata Kristomei.

Kristomei juga membagikan pernyataan tertulis yang berisi klarifikasi mengenai kehadiran aparat TNI di UI.

Dia membantah disebut mencoba mengintervensi acara.

“Kedatangan saya ke kampus, murni guna memenuhi undangan dari mahasiswa dengan maksud baik,” kata Komandan Distrik Militer Depok, Letkol Inf Imam Widhiarto, dalam pernyataan tertulisnya.

Rektorat UI bantah klaim TNI: ‘Sosok F tidak mengundang TNI ke kampus’

BBC News Indonesia mencoba menghubungi pihak BEM UI, namun sampai laporan ini diterbitkan, mereka belum meresponsnya.

Sementara itu, Direktur Hubungan Masyarakat Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menyatakan pihaknya tidak mengundang pihak luar untuk datang ke acara tersebut.

Dia juga menekankan acara yang diadakan para mahasiswa itu adalah untuk internal.

Arie juga menyebut sudah menelusuri klaim TNI mengenai undangan seorang mahasiswa berinisial F kepada Imam.

Berdasarkan penelusurannya Arie menemukan pengakuan mahasiswa F berbeda dengan klaim TNI.

“Yang bersangkutan [F] juga sudah mengatakan kepada saya, tidak mengundang pihak manapun,” katanya.

Arie juga menjelaskan undangan yang diklaim pihak TNI datang dari kepala pengamanan UI kepada Imam adalah kegiatan lain yang tidak berkaitan dengan universitas.

Arie juga mengeklaim kegiatan berkaitan diskusi ilmiah di UI tidak pernah mendapat intervensi pihak manapun.

“Kegiatan diskusi ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa dan juga dosen, selama ini kita tidak pernah melakukan intervensi apapun, dan juga dari pihak luar manapun,” kata Arie.

“Kami menjamin kebebasan akademik di Universitas Indonesia,” ujar Arie.

Tanggapan pemerintah dan DPR

Menanggapi kehadiran anggota TNI di sejumlah kampus belakangan ini, Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto mengatakan, kampus pada dasarnya merupakan ruang terbuka untuk kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk TNI.

“Kami dalam konteks kerja sama penelitian kerja sama kuliah akademik mengisi materi dan sebagainya kampus itu adalah tempat yang terbuka,” kata Brian Yuliarto di gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/04), seperti dikutip Kompas.com.

“Dan sudah banyak berjalan sebenarnya ya beberapa mitra kampus, tidak hanya dari TNI, juga dari kalangan industri, dari kalangan profesional lainnya. Itu tentu bisa terlibat dalam proses pengajaran dan juga tidak kalah penting, dalam proses penelitian,” tambahnya.

Pernyataan Brian tidak secara khusus menanggapi kasus kehadiran anggota TNI di kampus UIN Walisongo, Semarang, dan kampus UI di Depok, Jabar.

Suara kritis justru disampaikan oleh politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga anggota DPR, Lalu Hadrian Irfani.

Hadrian mengingatkan agar kerjasama kementerian terkait dengan TNI yang sudah berjalan baik tidak berubah menjadi tindakan “represif” dan “pengancaman” oleh TNI terhadap mahasiswa.

“Kami di Komisi X selalu mengingatkan, baik Kemendiktisaintek maupun kementerian atau lembaga terkait agar jangan sampai TNI yang tadinya bertujuan untuk menanamkan wawasan kebangsaan, bela negara, kemudian menambah cinta tanah air bagi mahasiswa-mahasiswi kita, berubah menjadi tindakan-tindakan lain di luar tindakan tersebut, termasuk represif, pengancaman dan sebagainya,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, kepada media, Rabu (23/04).

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyebut tidak ada upaya militerisme dalam ruang sipil, seperti kritik yang disampaikan banyak pihak saat UU TNI disahkan.

“Enggak ada itu [militerisme]. Enggak ada. Militerisme apa? Militerisme apa?” Kata Prabowo, saat diwawancarai tujuh pemimpin media nasional, di kediamannya, Hambalang, Jawa Barat, awal April 2025 lalu.

Ia mengeklaim dirinya sebagai salah satu tokoh di militer yang mendorong supremasi sipil.

“Yang bawa kembali TNI ke barak itu siapa? Pemimpin-pemimpin TNI sendiri. Kita sadar waktu itu. Pak Wiranto, Pak Yudhoyono. Agus Wirahadikusuma. Termasuk saya. Saya yang dorong, saya pertama di dalam TNI yang mengatakan civilian supremacy,” kata Prabowo.

‘Soeharto jatuh, tapi tradisi pelarangan kampus berpolitik masih terjadi’

Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang Wiratraman, mengritik upaya intervensi militer dalam kegiatan mahasiswa di kampus.

Dia menyebut militer “dalam proses yang sangat panjang, membiasakan interaksi kampus dengan militer itu, akhirnya menjadi tradisi.”

Herlambang Wiratraman menyebut upaya kontrol terhadap kebebasan akademik memang tercatat dalam sejarah, setidaknya sejak pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada rezim Orde Baru.

Kebijakan itu melarang segala hal yang berkaitan berbau politik masuk ke dalam kampus.

“Celakanya adalah ketika Soeharto jatuh, tradisi itu tidak kunjung hilang,” kata Herlambang.

TNI, mahasiswa, kampus

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aksi mahasiswa menolak UU TNI, Maret 2025.

Herlambang menuturkan bahwa saat dirinya masih mahasiswa dan menjabat sebagai pimpinan senat di fakultas kampus pada masa Orde Baru, sebelum melakukan kegiatan seperti diskusi dan seminar, dia perlu membawa proposal acara ke polsek dan koramil untuk ditandatangani.

“Keperluan untuk mendatangi Polsek dan Koramil itu kan satu proses yang sama sekali meruntuhkan akal sehat kita,” kata pengajar ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada ini.

“Kenapa harus berhubungan dengan Polsek dan Koramil pada saat kita mau menyelenggarakan kegiatan akademik yang sifatnya ilmiah di kampus,” tambahnya.

Herlambang yang menulis kajian berjudul ‘Kebebasan Akademik, Neo-Feodalisme dan Penindasan HAM’ menjabarkan bahwa apa yang terjadi pada masa NKK/BKK itu terus berlanjut memasuki era reformasi.

Dalam kajiannya tersebut, Herlambang mencatat sejumlah peristiwa, seperti pelarangan pemutaran film Jagal dan Senyap produksi Joshua Oppenheimer, yang menceritakan isu seputar isu G30S, di kampus.

Dia menyebut peristiwa-peristiwa pembubaran kegiatan mahasiswa ini ditopang institusi militer ,pihak internal kampus, bahkan organisasi paramiliter dari luar kampus.

Dia mencatat intervensi militer di kampus, paling mencolok adalah pada 2015, yang bertepatan pada 50 tahun peristiwa G30S.

“Banyak terjadi di berbagai daerah, di berbagai kampus, di berbagai titik.Saya melihat ini indikasinya terorganisir rapi. Kenapa? Karena kelihatan sekali sweeping itu terhadap buku-buku yang dianggap kiri,” kata Herlambang.

Herlambang mengungkap intervensi pihak militer kini semakin mencolok “seiring dengan konteks rezimnya, yang memang punya kepentingan politik militer sangat kuat untuk mengontrol kepentingan politiknya di kampus.”

‘Kampus tak boleh diintervensi’

Herlambang menegaskan kampus “tak boleh diintervensi kepentingan kekuasaan yang tidak berelasi dengan soal akademik.”

“Militer tidak perlu khawatir untuk mengawasi kampus segala,” ujarnya.

“Yang harus diawasi oleh militer itu kan perampok-perampok atau perompak-perompak yang ada di perbatasan. Atau mereka yang mencuri kekayaan alam Indonesia,” tambahnya.

Di samping itu, Herlambang juga menekankan manajemen perguruan tinggi agar memahami prinsip kebebasan akademik, yang melingkupi semua pihak yang terlibat aktif dalam kehidupan perguruan tinggi.

Herlambang menjelaskan pernah ada pandangan bahwa kebebasan pendidikan di kampus terbatas pada penelitian dan kegiatan di dalam ruang kelas. Padahal Herlambang meyakini, kebebasan akademik melebihi hal tersebut.

“Kebebasan akademik adalah kebebasan setiap individu untuk memberikan gagasan pikirannya secara kritis, kebebasan berpendapat, berpikir, berkumpul, berserikat, serta menguji hak-hak mereka berkaitan dengan perkembangan ilmiah atau perkembangan pemikiran,” ujarnya.

Ia merujuk pada Komentar Umum PBB Nomor 13, perihal Hak atas Pendidikan yang pada pasal 39 menjabarkan “anggota masyarakat akademis, baik secara individu maupun kolektif, bebas untuk, mencari, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan gagasan, melalui penelitian, pengajaran, studi, diskusi, dokumentasi, produksi, kreasi, atau penulisan.”

“Saya berharap manajemen kampus itu bisa belajar prinsip-prinsip kebebasan akademik itu.”



Sumber

Basa Juga