RUU KUHAP: Konsep keadilan restoratif versi DPR dan pemerintah dikritik hanya akan untungkan pelaku dan penegak hukum
Sumber gambar, Donal Husni/NurPhoto via Getty Images
-
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Konsep keadilan restoratif yang dimasukkan DPR dan pemerintah ke dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana dikritik dan disebut salah kaprah.
Bukannya berfokus pada keadilan untuk korban kejahatan, konsep ini dicemaskan justru hanya akan menguntungkan penegak hukum dan pelaku. Perempuan yang menjadi korban kejahatan pidana seperti perkosaan dan kekerasan justru dikhawatirkan akan semakin sulit menemukan keadilan.
Konsep keadilan restoratif dimasukkan pemerintah dan para anggota dewan ke Pasal 74 RUU KUHAP. Mereka mengatur, keadilan restoratif dapat dicapai melalui penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Namun pengaturan itu dianggap ganjil. Pasalnya, penekanan pada penyelesaian perkara di luar persidangan dapat menggeser inti keadilan restoratif yang berfokus pada pemenuhan hak dan kepentingan korban.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP khawatir, pengaturan keadilan restoratif itu justru untuk sekedar mengelola kelebihan beban kerja peradilan.
“Selesaikan saja di luar persidangan—penegak hukum jatuhkan sanksi. Ini yang untung adalah penegak hukum dan pelaku. Enggak ada urusan sama korban,” kata peneliti dari Indonesia Judicial Research Society.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Hiariej, membuat klaim bahwa perubahan KUHAP didasarkan keinginan agar hukum pidana di Indonesia tidak lagi menjadi sarana balas dendam, melainkan pemberi keadilan korektif hingga restoratif.
“Kita harus beralih ke sistem yang lebih modern dengan mengedepankan keadilan korektif, restoratif, dan fasilitatif,” ujarnya, Januari 2025.
Hukum pidana, menurut Edward, “tidak boleh hanya sekadar menghukum,” tapi juga harus memberi solusi.
“Oleh karena itu, pemidanaan harus mempertimbangkan faktor keadilan, keseimbangan, serta kepentingan masyarakat dan korban,” ujarnya.
Bagaimana keadilan restoratif bekerja?
Praktiknya, pendekatan ini melibatkan berbagai pihak, seperti korban, pelaku, serta unsur lain yang terkait, dengan proses sekaligus tujuan “mengupayakan pemulihan korban,” bukan semata-mata pembalasan.
Prinsip dasar keadilan restoratif, pertama dan yang penting ditegaskan, yakni penerapannya tidak seketika menghentikan perkara yang tengah diusut.
Kemudian, kedua, restorative justice mempertimbangan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan yang disumbang oleh umur, latar belakang sosial, pendidikan, sampai ekonomi.
Ketiga, pelaksanaan restorative justice mesti memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, selain, yang keempat, berprinsip pada kesukarelaan tanpa paksaan maupun tekanan.
Dan kelima, ketika keadilan restoratif ditujukan kepada kasus-kasus anak tujuannya yaitu memenuhi kepentingan terbaik anak bersangkutan.
Di Indonesia, ketentuan mengenai keadilan restoratif termaktub dalam beberapa peraturan, dari yang levelnya undang-undang sampai peraturan kepolisian.
Sayangnya, titik tolak implementasi keadilan restoratif di berbagai regulasi yang sudah ada, berdasarkan analisis ICJR, masih berangkat dari orientasi “penyelesaian perkara.”
Hal ini, tulis mereka, membuat restorative justice ditempatkan terbatas dalam kotak “tujuan atau hasil” alih-alih kombinasi “proses serta tujuan.”
Paradigma bahwa restorative justice merupakan solusi akhir dari kasus pidana sempat mengiringi insiden penganiayaan yang melibatkan anak pejabat pajak, Mario Dandy.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menawarkan restorative justice dalam menangani tindak kekerasan ini dengan catatan semua keputusan—diterima atau tidak—bergantung kepada keluarga korban.
Ide ini ditentang publik dan Kejati Jakarta sendiri, tidak lama, menutup opsi pemberian keadilan restoratif.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/bar
Dari tatanan regulasi, kecenderungan memanfaatkan restorative justice sebagai “tujuan” terpampang, sebagai contoh, pada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021. Di aturan itu, penyelesaian kasus telah dibatasi mekanismenya dengan klausul “melalui perdamaian.”
RUU KUHAP, kata peneliti hukum, melanjutkan perspektif berlandaskan hasil akhir—tuntasnya kasus.
“Restorative justice, dalam pengertian sebenarnya, itu tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, sebagaimana yang terjadi di banyak negara, seperti Inggris. Restorative justice diberikan setelah keputusan hakim,” ucap peneliti hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Matheus Nathanael.
Pemberlakuan restorative justice pascaputusan hakim memperlihatkan bagaimana negara merespons kondisi korban yang, sangat mungkin, berada dalam bayang-bayang kekecewaan, ketidakpastian, maupun ketidakpuasan, imbuh Matheus.
Dari situ, mediasi lalu dilakukan demi mewujudkan keinginan korban yang belum terpenuhi tanpa menghapus vonis yang diberikan kepada tersangka.
“Jadi memang restorative justice dan penjatuhan pidana itu bisa berjalan pararel,” tegasnya saat diwawancarai oleh BBC News Indonesia.
Sementara di Indonesia, Matheus menyoroti, realitanya tidak begitu.
RUU KUHAP menetapkan bahwa keadilan restoratif berhenti pada penuntasan kasus di luar persidangan. Sehingga antara restorative justice dan pemberian hukuman “tidak mungkin berlangsung secara beriringan,” tutur Matheus.
“Kalau perkaranya enggak disidang, berarti tidak dijatuhi hukuman,” ujarnya.
Hasil Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP yang dirumuskan DPR menunjukkan, di Pasal 78 ayat (1), pelaku dan korban dapat melakukan kesepakatan untuk “menyelesaikan perkara” di hadapan penyelidik atau penyidik.
Kesepakatan seperti dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat kesepakatan penyelesaian perkara di luar pengadilan yang ditandatangani pelaku, korban, dan penyelidik atau penyidik.
Berdasarkan surat tersebut, baik penyelidik maupun penyidik bisa menerbitkan surat penghentian penyelidikan atau penyidikan. Dengan begitu, kasus pun tak diproses lebih lanjut.
Praktik semacam ini, Matheus menyatakan, bakal mereduksi penyelesaian hukum yang berkeadilan. Di lain sisi, persepsi bahwa semua perkara pidana dapat ditebus dengan “ganti rugi” sehingga tidak perlu mendekam di balik tuntutan penjara akan menancap kuat.
Akhirnya, tidak menutup kemungkinan, yang muncul berikutnya adalah pengusutan kasus yang transaksional, Matheus menegaskan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom
Ada dua kepentingan yang saling bertemu di sini, Matheus menerangkan.
Pertama, kepentingan aparat penegak hukum dalam mencegah pengusutan kasus yang kelampau banyak.
Kedua, pelaku tidak menginginkan kasusnya muncul di persidangan sebab putusan hakim akan menempelkannya catatan kriminal.
“Ada criminal record yang terus dia tanggung. Makanya, dia biasanya menawarkan diri ke penegak hukum untuk tidak diadakan persidangan. Bayar sanksi atau ganti rugi saja kepada korban,” tutur Matheus.
“Nah, di situlah aparat penegak hukum mulai berpikir kalau kasus ini, sepertinya, enggak penting-penting banget untuk disidang.”
Kewenangan aparat penegak hukum begitu besar karena mereka menjadi aktor tunggal di setiap tahapan, mulai dari penyidikan sampai penuntutan. Matheus menyebutnya sebagai monopoli. Berhasil atau tidaknya sebuah restorative justice cuma disandarkan kepada kacamata masing-masing personel dari institusi yang berwenang.
Di tahap penyidikan, sebagai contoh, polisi memiliki kekuatan untuk memutuskan suatu perkara dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif atau tidak. Begitu pula di penuntutan dengan giliran kejaksaan yang mengambil peran.
“Urusan restorative justice itu, pada ujungnya, dimonopoli oleh setiap institusi di tahapan masing-masing, dan ini sudah pasti ada transaksi,” kata Matheus.
Demi mengantisipasi terciptanya jual-beli kasus, wajib hukumnya menyertakan partisipasi pihak lain yang mampu mengintervensi sekaligus meninjau apakah pendekatan restorative justice yang diupayakan memang ditempuh dengan proses yang baik atau kebalikannya.
“Siapakah dia? Pengadilan. Kalau restorative justice-nya disetujui, maka harus dibawa ke pengadilan supaya hakim bisa memeriksa,” tambahnya.
“Jadi, setiap urusan itu harus diurus lebih dari satu institusi. Kalau tidak, korup.”
Potensi buruknya tidak sekadar itu. Mekanisme restorative justice yang dibuka sejak tahap penyelidikan memperbesar pintu “rekayasa kasus,” ungkap Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
Tahap penyelidikan merupakan proses awal yang ditujukan untuk memastikan peristiwa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan.
“Pada tahap ini, belum ada tersangka, belum ada dua alat bukti, dan belum ada kepastian bahwa suatu peristiwa merupakan tindak pidana,” jelas Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani kepada BBC News Indonesia.
“Maka, membuka ruang restorative justice di titik ini sama saja dengan berupaya menyelesaikan suatu kejahatan yang bahkan belum pasti ada.”
Konsekuensi yang sangat bisa terjadi setelahnya yaitu penyelidik “menargetkan orang untuk berhadapan secara hukum,” ucap Julius, demi disudahinya pengusutan perkara. Tak jarang, korban rekayasa kasus ini berasal dari kelompok ekonomi atau sosial yang lebih rendah ketimbang pelaku.
Data KontraS memperlihatkan terdapat 27 dugaan rekayasa kasus yang dilakukan Polri sepanjang 2019 sampai 2022. Kasus-kasus ini tersebar di 15 provinsi dan muncul dari tingkat polsek hingga polda.
Korban rekayasa kasus, papar KontraS, didominasi masyarakat sipil dengan contoh merentang mulai dari aksi salah tangkap, upaya mencari pengakuan yang dibarengi tindak penyiksaan, sampai tidak membawa surat tugas kala meringkus korban.
Penyelewengan ini tak lepas dari posisi kepolisian yang melekat pada fungsi penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka.
Posisi rentan kelompok perempuan
Penerapan pendekatan keadilan restoratif diwanti-wanti jangan sampai semakin menyudutkan kelompok perempuan, tegas aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumenep, Nunung Fitriana.
Nunung menerangkan praktik restorative justice tidak sedikit dipakai untuk menyelesaikan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan mayoritas perempuan menjadi korbannya.
Relasi antara pelaku dan korban dalam KDRT terbangun dari ikatan—pernikahan—yang kemudian membuat korban “susah meneruskan ke jalur hukum,” ucap Nunung.
“Untuk [kasus] mencuat, terus melapor atau meminta pertolongan saja itu, rata-rata, kalau korban KDRT itu harus sudah [mengalami] kejadian yang kesekian kali.” ujarnya ketika dihubungi BBC News Indonesia.
“Jadi, sangat jarang KDRT itu dilaporkan kalau itu kejadian yang pertama.”
Di sinilah, Nunung melanjutkan, “opsi damai” dipilih karena jika dibawa ke ranah hukum akan menjadi aib bagi semua pihak—termasuk keluarga besar.
Meski begitu, pemberlakuan keadilan restoratif dalam konteks KDRT tidak serta-merta menjauhkan korban dari bahaya.
Nunung mengisahkan dia pernah mendampingi korban KDRT. Kedua pihak sepakat untuk berdamai tanpa sepengetahuan kepolisian atau pihak ketiga.
“Jadi, kalau ada kasus KDRT itu polisi, selain menyidik, akan membuka opsi damai, memang,” ucap Nining.
“Cuma, keputusan damai itu kemudian korban dan pelaku yang memutuskan sendiri.”
Berjarak sebentar dari kesepakatan tersebut, korban tewas di tangan pelaku.
Dengan pemberlakuan keadilan restoratif versi RUU KUHAP yang dikritik para aktivis maupun pegiat hukum begitu lentur, Nining meminta aparat kepolisian tidak sembarangan meloloskan pendekatan ini.
Menurut Nining, walaupun restorative justice diberlakukan, dan hal ini tidak dapat dihindari di kasus-kasus KDRT, aparat harus tetap melihat peluang ancaman terhadap korban.
“Kalau dari sisi pendamping, gitu, benar-benar harus jeli dan objektif. Apakah peluang restorative justice ini baik atau tidak untuk korban?” sebut Nining.
“Jangan-jangan dia [pelaku] memberikan opsi restorative justice hanya untuk mengendalikan situasi. Nanti ketika ada potensi lagi, dia kembali melakukan kekerasan. Jadi, itu sesuatu yang harus diwaspadai semua pihak.”
Sumber gambar, Donal Husni/NurPhoto via Getty Images
Dalam praktiknya, pembahasan keadilan restoratif yang mendudukan korban dan pelaku tidak dapat ditempuh sendirian: harus ada penengah—bukan hanya polisi, melainkan keluarga serta pendamping.
Keberadaan penengah ditujukan agar bisa membantu menyusun poin-poin yang disetujui kedua belah pihak, di samping menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang fokusnya melindungi korban.
“Itu yang diperbarui, yang disepakati, yang menjadi prasyarat agar restorative justice itu terjadi. Salah satu penekanan [kepada pelaku] adalah tidak akan melakukan kekerasan lagi,” tambah Nining.
Jalan yang tersedia untuk restorative justice di kasus KDRT memang panjang, dan Nining meyakini itu sebagai cara supaya hak-hak korban terjaga.
Namun, dengan ketentuan baru yang terpacak di RUU KUHAP, Nining tak bisa menutup kekhawatirannya.
Merujuk DIM RUU KUHAP yang sudah dibahas DPR, mekanisme keadilan restoratif dapat dikenakan terhadap tindak pidana, salah satunya, yang diancam penjara paling lama lima tahun (Pasal 74A). Kekerasan fisik yang menyebabkan luka ringan memenuhi kriteria tersebut.
Tatkala ada korban yang membawa kekerasan ini ke hukum, penyelesaian tanpa persidangan dengan restorative justice dapat diterapkan. Persoalannya, pada Pasal 78 ayat (1), pelaku dan korban dapat bersepakat untuk menghentikan perkara hanya di hadapan penyelidik atau penyidik—tidak tertulis pihak ketiga.
Padahal, Nining menggarisbawahi, restorative justice yang diupayakan dengan menihilkan keberadaan pihak ketiga atau keluarga dan orangtua “sangat berisiko.”
“Bisa jadi korban justru mengalami kekerasan yang lebih parah,” ucapnya.
Sumber gambar, ADEK BERRY/AFP via Getty Images
Koordinator Divisi Advokasi dan Kebijakan LBH Apik Jakarta, Piu, mengatakan dengan hanya mempersilakan korban serta pelaku bertemu dalam satu ruang, tanpa pihak ketiga atau pendamping, keadilan untuk korban otomatis tidak terjamin.
Pasalnya, Piu berucap, korban harus mengulang kembali traumanya dan dialog yang tercipta pun “sudah tidak berada di posisi yang setara.” Korban, pada saat bersamaan, juga rentan diancam dan diintimidasi.
“Terkhusus untuk kasus-kasus kekerasan berbasis gender, perempuan memiliki trauma-trauma yang cukup melekat pada diri masing-masing,” jelasnya.
“Dan kita harus memperhatikan juga ketika kemudian restorative justice itu dilakukan, mempertemukan korban dengan pelaku, tentu trigger-nya terhadap trauma itu pasti akan muncul.”
Ini lantas, sebut Piu selanjutnya, memperlihatkan proses restorative justice itu hanya dimaknai sebagai “perdamaian” terhadap pelaku.
Piu menerangkan konsep restorative justice, terutama jika dihubungkan dengan kekerasan gender, tidak dapat diartikan dengan “perundingan.”
Ketika membahas kasus-kasus kekerasan kepada perempuan, keadilan restoratif tidak menghapus sanksi pidana ke pelaku sebab “itu bagian dari kepastian hukum untuk perempuan korban,” terang Piu.
Berikutnya, ganti rugi bagi korban tetap menjadi kewajiban pelaku, sesuai dengan dampak-dampak yang diperoleh korban.
Tak ketinggalan, guna mencapai “keadaan semula,” seperti salah satu nilai dasar keadilan restoratif, pelaku harus menjalani rehabilitasi dengan maksud tidak mengulang lagi perilaku jahatnya.
“Keadaan semula di sini dalam arti keadaan yang tanpa adanya pelanggaran terhadap hak atau pelanggaran tindak pidana di masyarakat. Kalau dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, ini supaya tidak ada lagi keberulangan ke korban,” tandas Piu.
Draf RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR pada Maret 2025 tidak memuat satu pun poin kekerasan terhadap perempuan sebagai ketentuan yang dikecualikan dari mekanisme restorative justice.
Baru pada DIM yang diusulkan pemerintah, frasa “tindak kekerasan seksual” masuk dalam pengecualian penerapan keadilan restoratif.
Komnas Perempuan, lewat rekomendasinya, meminta pemerintah dan DPR menyertakan “tindak pidana perkosaan” serta “tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 5 tahun tapi dilakukan lebih dari satu kali atau berulang” ke perkara yang tidak berlaku penerapan restorative justice.
Selain itu, Komnas Perempuan turut pula mendesak otoritas menyertakan tambahan bahwa korban wajib didampingi pendamping atau advokat tatkala proses restorative justice dijalankan.
Pemenuhan hak-hak perempuan, Komnas Perempuan menerangkan, masih dipengaruhi steretotip gender yang berakar pada nilai diskriminasi. Efeknya, posisi perempuan, dalam sistem hukum, sangat rapuh hanya karena identitas mereka.
Piu berharap pemerintah, sebelum benar-benar mengesahkan KUHAP, yang nantinya memengaruhi penanganan pidana, lebih dulu mengkaji ulang bagaimana konsep restorative justice dimaknai secara luas oleh aparat penegak hukum.
“Jangan sampai restorative justive justru malah menjauhkan korban dari akses keadilan dalam proses peradilan pidana,” pungkasnya.
Senada, pelaksanaan proses formil (pemahaman) di antara aparat penegak hukum ihwal keadilan restoratif “berat sekali,” ujar Direktur Women’s Crisis Center Jombang, Ana Abdillah.
Belum lagi, dia menambahkan, “metode pengawasannya yang sangat lemah.”
“Sehingga, misalnya, dalam konteks penanganan kekerasan kepada perempuan, banyak hak-hak korban yang gagal diperjuangkan,” terang Ana.
Ahmad Mustofa di Madura berkontribusi dalam laporan ini.