‘Paus Fransiskus berpihak pada kaum tertindas’, sejauh mana para imam Katolik mewujudkannya di Indonesia?
Sumber gambar, AFP
Berbeda dengan wajah gereja yang ditampilkan Paus Fransiskus, komitmen sejumlah pimpinan Gereja Katolik di Indonesia terhadap keadilan sosial belakangan dipertanyakan.
Para imam Katolik itu, antara lain, dianggap tidak berpihak pada warga yang terdampak proyek strategis nasional di Tanah Papua, warga yang terjebak sengketa tanah melawan perusahaan milik gereja di NTT, hingga mereka yang menuntut kejelasan soal dugaan penghilangan paksa.
Lantas bagaimana para pastor Katolik di Indonesia selama ini menerjemahkan pesan dan seruan Paus Fransiskus? Apakah mereka dapat mengambil sikap yang berbeda dengan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma?
Dan apa pula tantangan serta batasan mereka dalam meneruskan kerja-kerja Paus Fransiskus?
BBC News Indonesia berbincang dengan sejumlah pastor untuk menelisik desas-desus tentang sikap gereja Katolik serta untuk mendapatkan respons mereka terkait kritik dari umat dan publik.
Sumber gambar, Sekretariat Negara
Sengketa tanah, penjara, dan adu argumen di NTT
Pada perayaan Natal, Desember 2024, Suster Laurentina Suharsih yang berbasis di Kupang, Nusa Tenggara Timur, mendapat penghargaan dari Presiden Prabowo Subianto.
Biarawati Katolik yang selama ini dikenal sebagai salah satu “suster kargo” itu mendapat pengakuan negara atas jasanya mendampingi para pekerja migran yang menghadapi kekerasan, bahkan kematian, di perantauan.
Sumber gambar, Laurentina Suharsih
Di tengah asa Laurentina dan para koleganya berjibaku pada persoalan perdagangan orang yang menahun, sekitar 400 kilometer dari Kupang, 150 keluarga di Kabupaten Sikka menghadapi persoalan tanah.
Januari 2025, PT Kristus Raja Maumere melakukan apa yang mereka sebut “pembersihan” terhadap 879 hektare lahan. Tapi ratusan warga menolak meninggalkan tanah yang telah mereka tempati secara turun-temurun itu.
Bentrokan lantas pecah antara warga dengan orang-orang yang dibayar perusahaan milik Keuskupan Merauke itu untuk “membersihkan lahan”.
Maret 2025, delapan warga adat di Desa Nangahale yang menolak penggusuran itu dijatuhi hukuman penjara selama 10 bulan oleh Pengadilan Negeri Maumere. Mereka dinyatakan bersalah karena merusak papan nama PT Kristus Raja Maumere.
Konflik tanah di Desa Nangahale itu memicu perdebatan di komunitas Katolik di NTT. Salah satunya muncul dari antropolog asal NTT yang bekerja di University of Melbourne, Justin Wejak.
“Gereja harus berupaya untuk menjadi sekutu, bukan malah menjadi musuh dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat,” tulis Justin di portal media khusus isu Katolik, Union of Catholic Asian News.
Kritik Justin dijawab oleh Alexander Jebadu, seorang pastor sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Dia membela PT Kristus Raja Maumere dan menuding bahwa wargalah yang menyerobot tanah secara melawan hukum.
“Gereja tidak merampok tanah Nangahale dan Patiahu dari suku setempat,” tulis Alexander di Media Indonesia.
Sumber gambar, Arnold Welianto
Saling tuding dan kritik terkait persoalan tanah yang melibatkan perusahaan yang berafiliasi dengan Keuskupan Maumere itu masih terus berlanjut, termasuk dalam tulisan sastrawan asal NTT, Felix Nesi.
NTT, yang 54% penduduknya merupakan penganut Katolik, sejak bertahun-tahun diliputi perdebatan tentang posisi Gereja dan para pastor terkait berbagai isu sosial. Berbagai proyek yang digagas pemerintah, antara lain pariwisata di Labuan Bajo serta geotermal di Lembata dan Flores, menjadi pemicunya.
Ewaldus adalah satu dari enam uskup seantero NTT yang secara bersama-sama menolak proyek gagasan pemerintah pusat itu. Mereka berdalil, “proyek itu bakal merusak ekosistem alam”.
Gereja di tengah konflik bersenjata dan sengketa lahan di Tanah Papua
Di Tanah Papua, Gereja Katolik tidak hanya menghadapi isu keadilan sosial berupa kemiskinan atau tanah adat yang terancam proyek pertambangan dan perkebunan.
Berbeda dengan konteks di NTT, Gereja Katolik di Tanah Papua juga dihadapkan pada realitas konflik bersenjata yang menyebabkan kematian dan pengungsian selama 60 tahun terakhir.
Sumber gambar, Getty Images/Jefta Images
Paul Tumayang Tangdilintin, pastor yang hampir tiga dekade bertugas di Tanah Papua, menyebut alasan mengapa Gereja Katolik mengecam berbagai bentuk kekerasan dalam konflik bersenjata.
“Kalau terjadi tragedi kemanusiaan, siapapun korbannya, baik orang Papua, maupun bukan orang Papua, gereja wajib bersuara,” ujar Paul saat dijumpai di Jayapura, Rabu (23/04).
“Kalau tidak bersuara, berarti kami melanggar amanat Yesus,” kata Paul.
Uskup Merauke, Peter Canisius Mandagi, juga pernah mengecam dugaan kekerasan oleh tentara terhadap tiga warga sipil di Kabupaten Mappi, September 2022. Seorang warga asli Papua tewas dalam peristiwa itu, sementara 18 tentara menjadi tersangka.
“Orang Papua bukanlah binatang yang, bila melakukan kesalahan, bisa seenaknya dianiaya dengan sadis,” kata Mandagi kala itu.
“Penganiayaan terhadap orang Papua sudah berulang kali terjadi di Papua. Karena itu sekali lagi saya mengatakan, ini harus dihentikan. Dihentikan,” tuturnya.
Sumber gambar, Ikbal Asra
Mandagi bukan pastor atau uskup pertama yang mengecam kekerasan dalam konflik di Tanah Papua. Pada Desember 2020, misalnya, sebanyak 147 pastor asli Papua pernah mengeluarkan seruan moral mengecam kekerasan menahun di Tanah Papua. Mereka meminta pemerintah “menarik pasukan dari Tanah Papua”.
Walau mengecam kekerasan, Mandagi tak ikut meneken seruan para pastor itu. Dia bilang, seruan itu tidak mencerminkan sikap lima uskup di Tanah Papua.
Sejak saat itu, Mandagi kerap mendapat kritik. Yang terakhir berurusan sikapnya dalam polemik dua program pemerintah pusat, yaitu pemekaran wilayah dan food estate di Merauke.
Namun tak sedikit pula yang setuju pada salah satu proyek dalam Otonomi Khusus Jilid II itu.
Mandagi masuk dalam kelompok yang setuju pada pemekaran, terutama Provinsi Papua Selatan, tempatnya bertugas sebagai pemimpin keuskupan.
“Saya 100% mau supaya daerah ini menjadi provinsi,” kata Mandagi, November 2019, saat pemekaran wilayah masih sebatas wacana.
“Kekayaan kita di Papua Selatan banyak sekali, tapi dikuras oleh pusat. Cuma sebagian kecil dikembalikan ke sini. Kurang ajar juga.
“Dengan menjadi provinsi, uang banyak akan datang ke sini,” ujar Mandagi kala itu.
Sumber gambar, wikimedia commons/Medelam
Adapun terkait proyek strategis nasional yang berupa food estate di Merauke, Mandagi juga telah menyatakan dukungannya.
“Tapi poinnya, investasi itu ada untuk masyarakat,” ujarnya.
Bagaimana sikap imam Katolik terkait proyek pangan di Merauke?
Para pastor dan uskup di Tanah Papua memiliki sikap beragam terkait isu sosial di wilayah itu.
Pastor Paul Tumayang, misalnya, secara pribadi menolak proyek strategis nasional di Merauke. Paulus bilang, sikap itu dia dasarkan pada ajaran Santo Fransiskus dari Asisi—pemimpin ordo Fransiskan yang dia ikuti.
Jorge Mario Bergoglio, yang pada 2013, ditahbiskan menjadi Paus Fransiskus, memulai pengabdiannya sebagai imam juga di tarekat Fransiskan.
“Saya tidak setuju PSN. Kenapa? Karena itu merusak kesinambungan dan keharmonisan alam,” ujar Paul dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
“Tapi itu pendapat saya pribadi sebagai pastor Fransiskan.
“Seandainya saya masih bekerja di Merauke, saya mungkin jadi salah satu pastor yang bersuara dan pimpin umat berdemo agar proyek itu batal,” kata Paul.
Sumber gambar, BBC News Indonesia/Dwiki Marta
Terkait proyek pangan di Merauke itu, Uskup Jayapura, Yanuarius You, menyampaikan pendapat berbeda. Kami menjumpai imam Katolik asli Papua pertama yang menjabat uskup itu, Rabu (23/04).
Yanuarius berkata, tanah dan hutan di Tanah Papua dimiliki secara kolektif oleh warga adat. Selama menjadi imam Katolik, kata Yanuarius, dia rajin menganjurkan umatnya untuk mempertahankan hak ulayat itu.
Namun Yanuarius menyebut dalam berbagai peristiwa, aturan adat itu dilanggar oleh orang asli Papua yang menjual tanah demi uang atau jabatan.
“Dalam kasus Merauke, pemilik tanah sudah menjual dan melepas hak ulayat. Lalu situasi itu dipersalahkan kepada uskup. Persoalan uskup di mana?” ujarnya.
Kritik kepada Mandagi, menurut Yanuarius, “tidak tepat dan tidak adil”.
“Kalau sudah ada masalah, jangan dipersalahkan kepada pemimpin gereja,” ujarnya.
“Kecuali kalau warga sungguh-sungguh tidak menyerahkan, lalu ada pemaksaan dari luar dan uskup diminta pasang badan tapi memilih diam, saya kira kritik itu bisa dimengerti,” kata Yanuarius.
Sumber gambar, Ikbal Asra
Bernardus Bofitwos Baru, yang baru saja dipilih menjadi Uskup Timika, menyerukan hal berbeda terkait proyek pangan di Merauke. Petikan kotbahnya pada ibadah Jumat Agung, 18 April lalu itu, beredar luas di media sosial, khususnya kalangan umat Katolik Papua.
“Dengan PSN di Merauke, dua juta hektare tanah masyarakat adat dicaplok demi alasan pembangunan. Masyarakat dalam waktu sekejap akan kehilangan hak hidup, ruang hidup, budaya, way of life dan spiritual hidup mereka,” ujar Bernardus.
“Apakah kita sebagai orang Katolik merayakan paskah ini hanya seremonial saja, ataukah kita harus berani bersuara seperti Yesus?” kata pastor asal Kabupaten Maybrat itu.
Jadi, apakah pesan dan seruan Paus Fransiskus wajib ditaati para pastor?
Ensiklik—istilah gereja untuk pesan dan seruan Paus—mengikat para uskup dan imam Katolik, menurut Yeskiel Belau, pastor asli Papua di Kabupaten Dogiyai.
Yeskiel menyebut setidaknya terdapat tiga ensiklik penting yang dibuat Paus Fransiskus. Pertama, yang berjudul Lumen Fidei pada tahun 2013, tentang bagaimana iman mesti menjadi pusat kehidupan umat Katolik.
Kedua, kata Yeskiel, berjudul Laudato Si’ (2015), yang berisi seruan untuk menjaga lingkungan dan mengatasi perubahan iklim.
Ketiga, Fratelli Tutti (2020), yang menyerukan vitalnya persaudaraan dan masyarakat yang adil dan inklusif.
“Yesus Kristus adalah kepala Gereja Katolik, yang dilanjutkan oleh para rasul, seperti Rasul Petrus dan para paus, termasuk Paus Fransiskus,” kata Yeskiel.
“Alur yang demikian itu hukumnya mengikat semua uskup dan imam dalam Gereja Katolik,” tuturnya.
Sumber gambar, VaVatican Pool/Getty Images
Namun sejauh mana para imam terikat dengan berbagai ensiklik yang dikeluarkan Paus?
Keterikatan itu terhubung dalam sebuah “tanggung jawab moral”, menurut Dismas Kwirinus, pastor lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana yang kini bertugas di Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Tanggung jawab moral itu, kata Dismas, diwujudkan dengan melaksanakan berbagai pesan Paus Fransiskus.
Artinya, secara moral para pastor hingga uskup perlu “senantiasa berpihak pada yang lemah dan miskin serta tidak menutup mata terhadap kenyataan sosial”, kata Dismas.
Para imam Katolik, menurut Dismas, harus melihat kemiskinan dan peminggiran sekelompok warga sebagai persoalan struktural. Dalam realitas sosial itu, Dismas menyebut para pastor tak semestinya hanya menjadi penghibur atau “sinterklas”.
Sebaliknya, kata Dismas, para imam Katolik harus mewujudkan ajaran Yesus Kristus dengan membebaskan umatnya dari “struktur yang memiskinkan”.
“Perlu keberanian, ketegasan, dan komitmen para imam untuk berpihak kepada yang miskin, menderita dan lemah,” tuturnya.
“Keberpihakan gereja adalah kategori teologis karena pilihan Allah dan bukan pilihan gereja,” kata Dismas.
Sumber gambar, AFP
Tapi adakah batasan keberpihakan gereja?
Sikap para imam dan gereja Katolik semestinya tidak dibawa ke ranah politik, kata Pastor Paul Tumayang.
Dia berkata, dalam konteks konflik di Tanah Papua, sikap para imam itu rentan dituduh sebagai keberpihakan pada salah satu pihak yang saling berseteru—pemerintah atau kelompok pro-kemerdekaan.
“Kalau kami bersuara tentang alam yang dirusak atau masyarakat adat yang tanahnya dirampas, itu harus dilihat dalam konteks keberpihakan untuk memelihara keharmonisan alam semesta dan hidup bersama,” kata Paul.
“Jadi jangan dibawa ke ranah politik, misalnya kami menentang pemerintah atau mendukung Organisasi Papua Merdeka.
“Itu pula tidak ada pastor yang jadi tim sukses saat pemilu. Kami murni bekerja untuk Tuhan, tidak boleh terlibat politik,” tuturnya.
Lebih dari itu, Paul bilang keberpihakan para imam juga harus dipahami dalam konteks struktur Gereja Katolik Roma.
Setiap gereja Katolik, kata dia, menginduk pada satu keuskupan. Setiap keuskupan berdiri secara otonom dan sikap lembaga itu ditentukan oleh uskup yang memimpinnya.
“Jadi, keuskupan Jayapura tidak bisa mengurus ‘rumah tangga’ dari Keuskupan Merauke. Sama seperti Pemprov Jakarta yang tidak bisa datang mengurus masalah di Provinsi Papua,” kata Paul.
“Betul bahwa gereja Katolik itu universal. Tapi setiap keuskupan itu otonom—punya pemimpin sendiri. Masing-masing uskup tidak bisa saling mencampuri,” tuturnya.
Reportase oleh Abraham Utama dan Ikbal Asra