Kisah Warga Thailand dan Kamboja Bertahan di Zona Konflik

DI tengah konflik perbatasan Thailand dan Kamboja, sejumlah warga tetap menolak mengungsi. Meski nyawa mereka terancam, sebagian warga tetap bertahan demi menjaga hewan ternak dan nilai tradisional komunitas mereka.
Salah satunya Samuan Niratpai, petani berusia 53 tahun asal Desa Baan Bu An Nong, Provinsi Surin, Thailand. Meskipun keluarganya telah melarikan diri ke Bangkok sejak hari pertama bentrokan pada Kamis, ia memilih tinggal untuk merawat ayam, tiga anjing, dan 14 kerbau kesayangannya.
“Setiap hari pukul 5 pagi, saya mendengar ledakan keras. Lalu saya lari ke hutan untuk berlindung,” ujarnya kepada AFP.
“Bagaimana bisa saya tinggalkan kerbau-kerbau ini? Saya akan terus khawatir. Setelah serangan, saya menenangkan mereka. Saya bilang tidak apa-apa. Kita bersama-sama,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Konflik di perbatasan yang berlangsung selama empat hari dipicu sengketa lama soal kuil suci yang kembali memanas menjadi perang terbuka menggunakan pesawat tempur, tank, dan pasukan darat.
Pertemuan perdamaian antara pemimpin kedua negara dijadwalkan berlangsung Senin (28/7) di Malaysia.
Hingga saat ini, sedikitnya 34 orang dilaporkan tewas yang mayoritas warga sipil dan lebih dari 200.000 orang mengungsi dari wilayah sepanjang 800 kilometer perbatasan yang mayoritas terdiri dari lahan karet dan sawah.
Namun, di tengah kondisi berbahaya itu masih banyak warga dari kedua sisi perbatasan yang enggan meninggalkan rumah.
Di Kota Samraong, Kamboja, sekitar 20 kilometer dari garis perbatasan, restoran milik Soeung Chhivling tetap beroperasi meski guncangan bom terasa di dapur.
“Saya juga takut, tetapi saya ingin tetap memasak agar mereka (tentara dan petugas medis) punya makanan,” ujar wanita berusia 48 tahun itu.
“Saya tidak akan mengungsi kecuali pesawat mulai menjatuhkan banyak bom,” tuturnya.
Di pihak Thailand, Pranee Ra-ngabpai, peneliti isu perbatasan sekaligus warga setempat, menyebut banyak pria lanjut usia memilih bertahan karena nilai-nilai tradisional.
“Ayah saya masih bertahan di rumah dan menolak pergi. Ada pola pikir seperti kalau saya mati, lebih baik mati di rumah atau saya tak bisa tinggalkan sapi saya,” ujarnya.
Desa Baan Bu An Nong kini dikategorikan sebagai zona merah alias wilayah berisiko tinggi terhadap serangan udara, tembakan artileri, dan pertempuran darat.
Namun, Keng Pitonam, wakil kepala desa berusia 55 tahun, tetap bertahan. Sambil mengangkut rumput untuk ternaknya, ia juga mengurus hewan dan rumah milik puluhan tetangganya.
“Saya harus tinggal. Ini tanggung jawab saya. Saya tidak takut. Saya tak bisa meninggalkan kewajiban. Kalau saya sebagai pemimpin pergi, apa kata warga? Saya harus ada di sini untuk melayani masyarakat, apa pun yang terjadi,” tuturnya.
Bahkan biara setempat telah beralih fungsi menjadi pos bantuan dan evakuasi, lengkap dengan ambulans.
“Saya harus tetap di sini sebagai penyangga spiritual bagi warga yang masih tinggal. Apa pun yang terjadi, biarlah terjadi,” kata sang kepala biara yang menolak menyebutkan namanya.
Sementara itu, sekitar 10 kilometer dari perbatasan, Sutian Phiewchan berlindung di dalam bunker. Lewat sambungan telepon, pria berusia 49 tahun itu menyampaikan ia bertahan untuk menjalankan tugasnya sebagai relawan pertahanan sipil, menjaga sekitar 40 orang yang masih tinggal di desa.
“Semua orang di sini ketakutan dan sulit tidur. Kami melakukan ini tanpa bayaran. Namun, ini demi melindungi nyawa dan harta warga desa kami,” ucapnya. (AFP/I-2)