Sekolah Rakyat dimulai 14 Juli – Keadilan sosial atau segregasi sosial pendidikan?
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Pemerintah dinilai gegabah karena tanpa kajian mendalam dalam menjalankan program Sekolah Rakyat. Mulai dari persiapan yang belum matang, pelibatan TNI, kurikulum yang campur baur, hingga menggusur sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Sekolah Rakyat yang tersebar di sebanyak 63 titik di berbagai kota di Indonesia mulai berjalan pada 14 Juli 2025.
Di bawah naungan Kementerian Sosial, Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang rawan putus sekolah. Mereka yang masuk Sekolah Rakyat akan ditempatkan ke dalam asrama.
Akan tetapi, konsep yang ditawarkan pemerintah melalui program ini merupakan bentuk segregasi sosial dalam pendidikan dan bisa berdampak besar pada psikologis anak, kata pengamat.
BBC News Indonesia mengumpulkan kisah dari Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sumatra Barat, dan Jawa Barat, terkait pelaksanaan hari pertama Sekolah Rakyat.
‘Saya mau anak saya jadi orang yang berhasil’
Nur’aini (39), warga Batang Kabung Ganting, Koto Tangah, Padang juga harus rela melepaskan anak keduanya, Cahaya Putri Wisabila (12) tinggal di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang karena masuk Sekolah Rakyat.
“Saya tidak mampu menyekolah anak saya dengan penghasilan sehari-hari. Saya mau anak saya jadi orang yang berhasil,” ucap Nur’Aini yang membuka jasa setrika baju pada tetangga sekitar dengan bayaran Rp5.000 per kilogram untuk menambah pendapatan suami.
Ia menuturkan, penghasilan suami sebagai nelayan tidak menentu. Selain makan sehari-hari, mereka harus menyisihkan uang untuk membayar sewa rumah semi permanen yang harganya Rp4 juta per tahun.
Selain itu, ada dua anak lagi yang harus dibiayai pendidikannya yaitu kakak Putri yang bersekolah di SMK swasta dan adik Putri yang masih SD.
Sementara itu, Hani Olivia Guterres (12) buru-buru menangkupkan kedua tangannya di wajah untuk menghapus air mata.
Sedih dirasakannya karena harus meninggalkan mamanya untuk berangkat ke Sekolah Rakyat pada Minggu (13/07). Bukannya reda, tangis yang ditahannya pecah juga.
Maria Novita Tefa (43), mama dari Hani, segera memeluk anak keempatnya yang sebentar lagi berpisah sementara darinya. Maria pun kemudian ikut menangis.
Maria mengakui ada rasa takut harus melepaskan putrinya yang beranjak remaja tinggal di Sentra Efata yang berjarak sekitar 16 kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Raknamo, Amabi Oefeto, Kupang, Nusa Tenggara Timur
Selama ini, Maria tak pernah berpisah jauh dari Hani.
“Semoga itu sonde [tidak] apa. Biar sekolah di sana untuk masa depan. Kalau mengharap di sini ya seperti ini hidup,” ucap Maria yang menjadi kader posyandu dengan penghasilan Rp150.000 per bulan untuk menghidupi tujuh anaknya setelah kepergian suami pada 2021.
Sumber gambar, Eliazar Robert
Di Jayapura, Papua, Ehut L. Sasarari, juga berat melepas putri bungsunya yaitu Queen Sabattini Sasarari masuk asrama Sekolah Rakyat di BBPPKS Papua. Sekeluarga merasa kehilangan.
“Kakaknya bahkan bilang ‘Bapak, ada sekolah lain juga bisa, kenapa harus kasih sekolah ke situ?’ Tapi kami sebagai orangtua sudah tidak apa dan minta anak bungsu kami untuk belajar supaya nanti kembali membawa hikmat yang baik untuk keluarga,” ujar Ehut.
Queen yang masuk jenjang SMA di Sekolah Rakyat dengan berat hati pada akhirya bersedia masuk asrama.
“Kakak-kakak sudah kerja. Saya pergi dari bapak dan mama dan sekolah di sini. Terus harus masuk asrama di sini. Terus siapa yang jaga bapak dan mama. Tapi semoga ini bisa bikin mama papa bangga dan saya bisa capai apa yang saya inginkan,,” bebernya.
Di Jakarta, Yulianah (35), warga Pulo Harapan Indah, Cengkareng, berharap Sekolah Rakyat menjadi jalan keluar pemenuhan pendidikan anak-anaknya.
Saat ini, anak keduanya, Dina Rostina (13), yang masuk dan menempati Sentra Handayani.
“Dua hari di sana uji coba katanya betah. Senin ini balik lagi udah mulai sekolah. Buat orang rakyat susah yang tidak mampu, ini membantu,” kata Yulianah yang sesekali menerima jasa cuci setrika untuk menambah penghasilan suami yang bekerja serabutan.
Sumber gambar, Riana A Ibrahim
Dari mana informasi Sekolah Rakyat?
Ehut L. Sasarari, warga Jayapura, Papua pernah mendapat imbauan dari sekolah terkait program ini. Selanjutnya, ada beberapa orang dari dinas sosial yang datang beberapa kali ke rumah untuk mendata dan menjelaskan mengenai Sekolah Rakyat.
“Harapan kami, jangan sampai seperti program Pak Habibie dulu yang putus di tengah jalan. Anak kami ini di SMP termasuk berprestasi. Jangan sampai ketika dia sudah masuk, malah putus di tengah jalan,” tuturnya.
Hal ini pula yang disampaikan pada petugas yang berulang kali datang ke rumahnya.
“Para petugas bilang Sekolah Rakyat ini tidak akan seperti yang saya bayangkan, tidak akan terputus begitu saja. Ya sudah, saya berharap itu benar,” ujarnya.
Meski sudah mendengar dari berita yang beredar di sosial media, informasi mengenai Sekolah Rakyat baru dipahami Yulianah ketika pihak Dinas Sosial mendatangi rumahnya pada Juni 2025.
Saat itu, disebutkan anaknya berhak memperoleh bantuan untuk masuk ke Sekolah Rakyat dan menanyakan kesediaan anak.
“Bukan ditawarin, tapi nanya anaknya mau apa enggak? Anaknya mau. Setelah itu, diminta KK (Kartu Keluarga) dan akte anak,” jelas Yulianah.
Sumber gambar, Riana A Ibrahim
Ia juga dijelaskan mengenai fasilitas apa saja yang diterima anaknya nanti. Antara lain, seragam sekolah, buku, laptop, dan makan tiga kali sehari selama tinggal di asrama.
“Bisa pulang seminggu sekali, bisa ditengokin juga. Ada dokter juga katanya 24 jam,” ungkap Yulianah.
Sementara itu, Maria Novita Tefa dari Kupang dan Nur’Aini dari Padang mendapatkan informasi dari pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) yang selama ini rutin mengakomodir bantuan sosial lainnya untuk keluarga mereka.
“Dari pendampingan datang, lalu bilang Hani dapat masuk [Sekolah Rakyat]. Petugas juga tanya anak ada berapa, sekolah ke mana, dan sekarang hidup dengan anak gimana. Karena saya punya suami yang tadinya kerja ojek juga sudah meninggal,” tutur Maria.
Nur’Aini menyerahkan pada anaknya seusai memperoleh informasi dari pendamping PKH.
“Saya tanya dulu ke anak saya dan dia mau sekolah di sana. Setelah itu, anak saya cari tahu tentang Sekolah Rakyat di internet dan makin mantap. Baru saya siapkan berkas dan semua diurus pendamping PKH,” ungkapnya.
Sementara itu, Arni Rennamah (40) justru mengetahui dari petugas Sentra Efata yang menjadi satu-satunya lokasi Sekolah Rakyat di Nusa Tenggara Timur.
“Satu orang datang ke rumah diantar wali kelas dari sekolah anak kami. Setelah itu, kami diwawancara dan dijelaskan semua ditanggung oleh pemerintah,” ucap Arni.
Meski mengaku sempat khawatir karena konsep asrama yang mengharuskannya berpisah dengan putranya, Mikael Rennamah (12), penjelasan dari petugas memupus kecemasannya.
Sumber gambar, Eliazar Robert
“Ketika dia sakit, nanti katanya ada yang hubungi. Libur juga boleh pulang ke rumah, tapi ada batas waktu,” ucap Arni.
Menurut pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani dengan penghasilan kurang dari Rp1 juta per bulan, menganggap sekolah ini meringankannya untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
“Kakaknya tiap bulan uang sekolah bayar Rp10 ribu. Kita tidak mampu biayai Mikael punya sekolah. Masih ada juga dia punya adik. Sudah di sini ini supaya dia capai punya cita-cita jadi tentara,” tutur Arni.
Segregasi sosial
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik per 25 Juni 2025, sekitar 422.000 anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin ekstrem atau kategori desil 1 tidak sekolah atau putus sekolah. Salah satunya pengeluaran per kapita di bawah Rp500.000 per bulan.
Dari informasi yang dihimpun, semula sasaran utama untuk DKI Jakarta sedianya berada di wilayah Jakarta Timur. Namun dari ratusan anak yang ditargetkan masuk, tidak semuanya bersedia menjadi siswa Sekolah Rakyat karena lebih memilih melanjutkan di sekolah negeri.
Wilayah kemudian diperluas dengan mengacu pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) disandingkan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial.
Hasilnya diperoleh area Jakarta Barat dan Jakarta Utara yang dibidik selanjutnya dengan mengutamakan kecamatan yang memiliki penduduk miskin signifikan.
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, menyampaikan program ini ditujukan agar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem ini bisa memperoleh pendidikan. Sebab salah satu cara keluar dari kemiskinan, lanjut Saifullah, adalah pendidikan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kendati demikian, pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Itje Chodidjah justru berpandangan Sekolah Rakyat bukan solusinya.
“Saya tetap mengatakan ini adalah segregasi sosial. Bahwa kamu adalah rakyat miskin ekstrem, kamu harus dipisahkan sekolahnya. Itu dampak psikologisnya besar terhadap kejiwaan anak,” ujar Itje.
Selain itu, konsep asrama yang mengharuskan anak-anak berpisah dari orangtuanya di usia yang muda dan disatukan dengan anak-anak yang berlatar belakang ekonomi sama juga tidak mudah secara psikologis.
Adaptasi pola asuh di lingkungan yang benar-benar baru, lanjut dia, dapat berpotensi memicu stres pada anak.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyampaikan Sekolah Rakyat ini bisa menghadirkan stigma pada anak-anak yang bersekolah di sana.
Dalam konteks perlindungan anak, Retno berpendapat ini bentuk pelanggaran.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Cahaya Putri Wisabila (12) pun merasakan dirundung teman-temannya karena memilih masuk Sekolah Rakyat.
“Dibully teman-teman. Bilangnya ngapain sekolah di sekolah orang miskin,” ucap Putri yang pernah menjadi atlet silat dan merupakan peraih nilai tertinggi di sekolahnya.
Akan tetapi, kondisi perekonomian orangtua dan sejumlah fasilitas yang dilihatnya ketika bertandang ke BBPPKS Padang membuatnya tetap pada pendirian untuk masuk Sekolah Rakyat.
Kenapa tidak masuk sekolah negeri?
Semula, anak-anak yang masuk Sekolah Rakyat ini tengah mengikuti Seleksi Penerimaan Murid Baru di sekolah negeri wilayahnya masing-masing sebelum didatangi pihak dinas sosial.
“Sudah daftar ke negeri. Gratis juga, tapi kan ini habis sekolah pulang ke rumah, dia main hp dan tahu sendiri pergaulan gimana. Beda kalau di sini [Sekolah Rakyat], selesai sekolah kan enggak main hp, ada kegiatan. Jadi, disiplin gitu,” ucap Yulianah, ibu dari Dina Rostina (13) yang masuk Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Jakarta.
Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat Mohammad Nuh menyampaikan konsep asrama juga menjadi pembeda dari sekolah negeri.
“Ini bukan sekadar gratis. Ini sudah memenuhi kebutuhan personal juga. melebihi dari gratis. Kalau bicara putusan MK juga, ini melebihi putusan MK. Karena sekali lagi, niatnya memuliakan mereka yang tidak mampu itu tadi,” kata Nuh.
Seperti diketahui, akhir Mei 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mewajibkan negara menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun dari SD hingga SMP, termasuk sekolah swasta tertentu.
Nuh juga menyebutkan perbedaan lain berada pada kurikulum yang digunakan. Bukan hanya kurikulum nasional melainkan juga memadukan dengan berbagai metode. Pada 2025 ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang menggunakan kurikulum deep learning.
Sementara itu, metode lain diambil dari sejumlah sekolah. Antara lain, Al Hikmah Boarding School di Batu, Jawa Timur dengan mengambil metode self-directed learning yang mendorong anak-anak berinisiatif dalam mengerjakan tugas.
Kemudian ada SMA CT Arsa di Sukoharjo yang menggunakan kurikulum merdeka dan SMA Taruna Nusantara yang memiliki kurikulum khusus yang menitikberatkan pada aspek kepemimpinan, mental, spiritual, ideologi, dan daya juang.
“Iya pakai deep learning walau kita kombinasikan. Kami sudah punya learning management system yang lebih luar biasa dengan digital yang bisa diakses dari laptop siswa. Sudah pakai tematik dan seterusnya. Itu sudah kita siapkan semua,” jelas Nuh.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Selain itu, anak-anak dilakukan pemeriksaan fisik dan mental sebelum masuk sekolah.
“Ada yang saat masuk ketauan ternyata anemia. Kalau tidak di sini, mungkin tidak akan tahu. Setelah tahu, kami berikan penanganan dan pembelajaran yang sesuai,” ujar Nuh.
Kemudian, minat dan bakat juga ditelaah dengan memindai kecerdasaan emosional anak juga.
“Jadi, nanti kurikulumnya terpersonalisasi sesuai dengan masing-masing anak. Karena tiap anak ini kan jenius. Jadi, pembelajaran secara personal karena masing-masing punya kekuatan sendiri-sendiri,” ucap Nuh.
Sumber gambar, Halbert Caniago
TNI juga akan dilibatkan, lanjut Nuh, untuk melatih kedisiplinan siswa dan melatih kebugaran dan kemandirian. Di beberapa tempat, informasi yang didapat adalah TNI akan mengajar anak-anak pendidikan Pancasila dan baris-berbaris.
Kepala Balai Besar Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial Regional VI Maluku-Papua Kementerian Sosial, John Herman Mampioper juga menjelaskan kehadiran TNI di sekolah untuk memberikan materi wawasan kebangsaan dan bela negara.
“Ini sesuai dengan instruksi presiden,” kata John.
Pembelajaran sekolah akan dimulai pada pagi hingga siang hari. Memasuki sore, anak-anak akan disibukkan dengan ekstrakurikuler sesuai minat dan bakat.
Pada malam hari, ada materi pembangunan karakter terkait dengan kecintaan bangsa, negara, dan sesama.
“Intinya membangun social cohesiveness (kekompakan sosial), termasuk pembiasaan yang positif dan mengembangkan talenta juga pengembangan digital literasi juga.”
“Jadi, nanti dimonitor kebiasaan anak-anak ini karena di rumah memang berbeda-beda habitnya. Itu plus-plus dibandingkan kurikulum yang ada,” jelas Nuh.
Bagaimana fasilitas Sekolah Rakyat?
Dari uji coba yang dilakukan di Sentra Handayani—salah satu lokasi Sekolah Rakyat di Jakarta—fasilitas yang tersedia untuk 75 siswa SMP yang belajar di sana berupa laptop untuk masing-masing anak.
“Tapi laptop ini tidak boleh dibawa ke kamar. Hanya untuk belajar di kelas,” ujar Kepala Sekolah Regut Sutrasto.
Selanjutnya, para siswa ini akan dibagi dalam tiga kelas sehingga tiap kelas berisi 25 anak.
Di Sentra Handayani, terdapat dua bangunan asrama bertingkat tiga di sisi kiri dan kanan. Tiap bangunan memiliki 10 kamar untuk siswa dan dua kamar untuk wali asuh. Satu kamar siswa diisi empat orang.
Sumber gambar, Riana A Ibrahim
Ada juga tempat tinggal untuk guru di bagian belakang gedung. Sebanyak 14 guru akan mengajar di Sentra Handayani ini.
Kamar mandi tersedia di tiap lantai. Tiap kamar mandi memiliki tiga bilik dengan toilet jongkok, ember, dan shower.
Kemudian, ada lapangan basket dan juga ruang makan. Para siswa juga berhak untuk memperoleh makan selama tiga kali sehari dengan estimasi anggaran Rp32.000 untuk sekali makan.
Namun, tidak terlihat ruang untuk mencuci baju bagi anak-anak.
Sumber gambar, Muhammad Ikbal Asra
Fasilitas di BBPPKS Jayapura, Papua tidak jauh berbeda.
Hanya saja bangunan asrama lebih banyak karena siswa yang ditampung mencapai 100 anak dan dilengkapi dengan ruang mencuci baju.
Sentra Efata Kupang juga menerima 100 anak dari berbagai kecamatan di Kupang yang dijemput dari rumah masing-masing siswa pada Minggu (13/07).
Di BBPPKS Padang, 150 anak menjadi murid Sekolah Rakyat. Di Bandung, Sentra Wyata Guna menerima 100 anak SMP.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Gegabah dan tanpa kajian
Meski memiliki landasan hukum pembentukan dan penyelenggaraan Sekolah Rakyat yaitu Instruksi Presiden RI Nomor 8 Tahun 2025, praktik Sekolah Rakyat ini tetap dinilai gegabah oleh para pakar pendidikan.
“Ini gegabah. Bangun sekolah buru-buru seperti bangun jembatan saja. Bangun sekolah itu bangun peradaban manusia lho,” ujar pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Itje Chodidjah.
“Saya mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab pada pendidikan mereka, apakah ini orang-orang yang sudah biasa mengurus boarding school.”
Pelibatan TNI untuk membentuk kedisiplinan dan konsep asrama ini juga dipertanyakan.
“Siapa yang bilang dan bisa membuktikan kalau di situ jadi disiplin. Mereka dipisahkan dari keluarga, dikelompokkan dengan anak miskin lainnya, lalu yang diserahi bukan orang-orang yang mengurus sekolah untuk anak-anak apalagi asrama untuk anak-anak.”
“Mereka ini manusia lho. Seberapa besar dampak pola asuh di asrama buat anak-anak ini,” kata Itje.
Sumber gambar, Riana A Ibrahim
Dari informasi yang dikumpulkan, persiapan Sekolah Rakyat memang terbilang singkat jika merujuk pada Inpres yang baru dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025.
Bangunan yang saat ini digunakan memanfaatkan gedung milik Kementerian Sosial yang sudah ada.
Seperti di Sentra Handayani Jakarta, misalnya. Bangunan yang digunakan adalah bekas gedung untuk rehabilitasi anak jalanan dan kecanduan narkoba.
Renovasi bangunan yang sudah tidak dipakai sejak pandemi ini hanya berlangsung selama 80 hari. Di lokasi lain, persiapannya juga dalam durasi waktu yang sama.
Hal ini juga membuat sejumlah fasilitas ada yang belum tersedia atau belum siap digunakan. Di Papua, sejumlah wartawan juga tidak leluasa meliput karena persiapan fasilitas masih ada yang terkendala.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andry Denisah
Perekrutan guru juga baru dibuka pada Juni 2025. Dengan berkoordinasi dengan Kemendikdasmen, sebanyak 1.459 guru diperoleh untuk mengajar. Umumnya, guru yang direkrut masih sebatas guru mata pelajaran.
Delvi Tiara Anjani, salah seorang guru di Sekolah Rakyat di Sentra Handayani mengatakan perekrutan dimulai beberapa bulan lalu.
Ia memiliki pengalaman mengajar selama enam bulan di sebuah sekolah sebelum akhirnya ditugaskan di Sekolah Rakyat.
Para wali asuh yang ditugaskan sebagian besar merupakan dari pihak dinas sosial dibantu oleh petugas sentra sebagai tim pendukung.
Di sisi lain, aturan anti perundungan dan pelecehan juga belum disiapkan secara matang.
Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat Mohammad Nuh menjelaskan hal ini diserahkan pada wali asrama dan wali asuh yang mendampingi anak selama berada di asrama.
“Wali asuh itu setiap 5-10 anak ada satu pendamping yang sudah dididik,” ujar Nuh.
Menanggapi kondisi ini, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyampaikan hal ini disebabkan pendirian Sekolah Rakyat minim kajian.
Di sisi lain, menurut Retno, ada potensi pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana.
“Jadi, usaha sadar dan terencana. Sadar akan berdampak apa nanti. Terencana itu berarti dipikirkan sekali ketika di boarding school ini, apa yang harus dilakukan? Akan terjadi apa? Apa antisipasinya?” ujar Retno.
“Bagaimana kemudian misalnya ada laporan pengaduan? Khawatirnya anak-anak ini diapain juga nerima. Itu harus terencana. Jangan sampai anak jadi kelinci percobaan,” imbuh Retno.
‘Saya merasa SLB terpinggirkan’
Perencanaan yang minim juga berdampak pada anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB.
Renovasi di Sentra Wyata Guna yang menampung 100 anak untuk Sekolah Rakyat berakibat pada pemindahan siswa SLB Negeri A Pajajaran ke SLB Cicendo.
Di lokasi ini, dua gedung yang sebelumnya digunakan SLBN A Pajajaran diambilalih. Orang tua siswa SLBN A Pajajaran, Nunik Haerani mengaku tidak keberatan sekolah rakyat berdiri berdampingan dengan sekolah anaknya.
Akan tetapi, lanjut Nunik, tidak mengambil tempat belajar murid-murid berkebutuhan khusus yang sudah bertahun-tahun menempati kelas tersebut.
“Saya merasa SLB terpinggirkan banget. Padahal kalau kita memiliki sedikit empati, kasihan anak-anak tuna netra, biarin saja di sini. Ini saja [Sekolah Rakyat] yang [siswanya] masih ada penglihatan normal yang dialokasikan ke tempat lain, Jangan mengesampingkan kami,” ujar Nunik.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Putra Nunik, Kemal Rizki Ramana (13), mengalami kebutaan total pada mata kanan dan pandangan terbatas di mata kirinya. Kemal juga didiagnosa autisme ringan, celebral palsy, dan kelainan di kaki kiri.
Dengan kondisi tersebut, Kemal dikategorikan sebagai siswa multiple disabilities with visual impairment (MDVI) atau disabilitas ganda dengan gangguan penglihatan.
Sejak TK, Kemal sudah terbiasa berada di sekolah ini. Ketika ruang kelas tempat anaknya bersekolah dibongkar, Nunik merasa was was Kemal bakal terganggu proses belajarnya.
Protes sempat dilayangkan mengingat Gedung D yang dibongkar merupakan ruang kelas bagi siswa dengan multiple disabilities dan tersedia fasilitas keterampilan dan kemandirian agar siswa disabilitas dapat mandiri.
“Saya berharap Kemal bisa pasang kancing kemeja sendiri, melepas celana dan pasang risleting sendiri. Satu lagi, belajar berhitung. Saya berharap Kemal juga bisa membedakan pecahan uang, tapi sekarang belum bisa,” ungkap Nunik.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Abdan Syakura
Pembongkaran gedung D menyebabkan pembelajaran tata graha dihentikan. Alhasil, siswa hanya memiliki ruang kelas di Gedung B, yang bersatu dengan ruang guru, dan Gedung C.
PLH Kepala Sekolah SLBN A Pajajaran, Rian Ahmad menyebutkan, pihaknya terpaksa mengoptimalkan ruang kelas yang ada untuk menampung 114 peserta didik seluruh jenjang sekolah. Sejumlah ruangan terpaksa disekat menjadi beberapa ruang kelas.
“Ada beberapa ruangan yang dipakai untuk dua rombongan belajar dengan penyekat.”
“Tentunya akan mengakibatkan distraksi, terlebih anak-anak kami sebagian besar adalah anak dengan hambatan penglihatan, maka saluran utamanya adalah pendengaran. Ketika riuh tentunya akan mengganggu proses pembelajaran” kata Rian.
Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono meminta untuk tidak khawatir.
“Sekarang kita fokuskan dulu untuk persiapan sekolah rakyat, kemudian yang di Bandung untuk SLB-nya kita sesuaikan dengan kebutuhan siswanya yang ada di sana. Jadi enggak usah khawatir.”
Berapa anggaran Sekolah Rakyat?
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, menyampaikan anggaran untuk Sekolah Rakyat untuk tahun ajaran 2025/2026 sebesar Rp 1,19 triliun.
Anggaran tersebut masuk dalam pagu anggaran Kemensos sehingga total anggaran yang diperoleh bertambah menjadi Rp80,79 triliun.
Berikut rincian anggaran Sekolah Rakyat:
- Kurikulum Sekolah Rakyat sebesar Rp3 miliar
- Rekrutmen dan seleksi guru Rp119 miliar
- Operasional Sekolah Rakyat Rp497 miliar
- Jaringan komunikasi dan data Rp11 miliar
- Gaji, tunjangan kinerja, dan tunjangan profesi guru Rp177 miliar
- Layanan sarana dan prasarana internal Rp341 miliar
- Layanan perencanaan dan penganggaran Rp900 juta
- Evaluasi dan bantuan Rp1,59 miliar
- Manajemen Rp10 miliar
- Layanan umum Rp15,5 miliar
- Audit internal Rp3,4 miliar
Rencananya, 37 titik Sekolah Rakyat lain akan dimulai pada akhir Juli ini.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Ampelsa
Sesuai dengan penjelasan Saifullah, murid Sekolah Rakyat tidak harus masuk pada tahun ajaran yang sama. Anak-anak bisa masuk kapan saja, dari kelas mana saja sesuai kesiapan, dan awal pembelajaran bisa tergantung pada masing-masing sentra.
Targetnya, Sekolah Rakyat bisa dibuka sampai sekitar 500 titik yang mampu mengakomodir 20.000 anak miskin dan miskin ekstrem pada rentang pendidikan SMP dan SMA.
Mengenai infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum mengajukan anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk membangun 100 Sekolah Rakyat di sejumlah titik untuk 2026.
Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyampaikan anggaran yang banyak lebih baik dialokasikan untuk membangun sekolah negeri di tiap kelurahan atau kecamatan yang belum memiliki sekolah negeri sehingga pendidikan dapat diakses semua pihak tanpa harus ada stigmatisasi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Gusti Tanati
Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Itje Chodidjah juga menyampaikan anggaran yang banyak bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas guru dan meningkatkan kesejahteraan guru.
Menurut dia, hal itu justru lebih efektif menjadi solusi persoalan pendidikan di Indonesia.
Apabila mengacu pada rincian anggaran untuk Sekolah Rakyat, alokasi untuk gaji dan tunjangan guru di sini tercatat sebesar Rp177 miliar.
Jumlah tersebut jika dibagi dengan total guru yang ada sekarang yaitu sekitar 1.459 lalu dibagi masa kerja 12 bulan, maka seorang guru bisa memperoleh gaji sekitar Rp9 juta per bulan. Jauh dengan gaji guru yang selama ini selalu dipersoalkan.
Wartawan Riana A Ibrahim di Jakarta, Eliazar Robert di Kupang, Halbert Caniago di Padang, Muhammad Ikbal Asra di Papua, dan Yuli Saputra di Bandung berkontribusi dalam artikel ini.